Tim DPP Prajaniti Hindu Indonesia selalu kreatif dalam membuat terobosan program. Kali ini, tim Bidang Politik dan Kesatuan Bangsa yang dipimpin oleh Gede Narayana menunjukkan kreativitasnya. Bersama tim yang terdiri dari Gede Mertanadi, Dessy Ariastuti, Ida Ayu Prasasti, Putu Laura, dan Ibenk, mereka membuat program yang bernama Dialog Kebangsaan Prajaniti (DKP). Dialog Kebangsaan secara virtual ini rencananya akan digelar rutin setiap satu bulan sekali. DKP edisi perdana ini diadakan pada Sabtu, 10 Juli 2021.
Menurut Gede Narayana, lulusan UNHI yang jadi Ketua DPP Prajaniti Hindu Indonesia Bidang Politik dan Kesatuan Bangsa, juga Ketua Komisi Informasi Pusat, DKP diadakan dengan beberapa tujuan. Pertama, untuk menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia yang Pancasila. Kedua, untuk memberikan pendidikan politik yang beretika, santun, dan berbudaya sesuai karakter bangsa Indonesia. Ketiga, untuk mengenalkan ajaran-ajaran Hindu dalam etika kehidupan bernegara. Keempat, memberi ruang belajar kepada kader-kader muda Hindu untuk aktif terjun dalam kegiatan kebangsaan.
DKP Perdana diadakan dalam bentuk Webinar terkait penguatan nilai-nilai Pancasila bersama beberapa tokoh lintas agama yang bertemakan: “Menangkal Radikalisme dan Sebaran Berita Hoaks di Era Keterbukaan Informasi”. Ada empat tokoh yang ditampilkan dalam webinar ini, yaitu Gede Narayana sebagai Ketua Komisi Informasi Pusat; Romo Benny Susetyo, Staf Khusus Dewan Pengarah BPIP; Dr. Asrorum Niam Sholeh, MA, Deputi Kepemudaan Kemenpora RI; dan Brigjen. Pol. R. Ahmad Nurwahid, Deputi Pencegahan Terorisme BNPT.
Dalam Pengantar Dialog Kebangsaan Prajaniti edisi perdana ini, Ketua Umum DPP Prajaniti KS Arsana menyampaikan bahwa Dialog Kebangsaan Prajaniti ini diinisiasi dan ditujukan sebagai bentuk kontribusi umat Hindu melalui organisasi Prajaniti dalam melakukan Dharma Negara, pengabdian kepada bangsa dan negara, untuk menumbuhkan kedewasaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dalam dinamika demokrasi Pancasila untuk memelihara, memperkuat, dan membangun Indonesia menjadi negara maju.
Sebagai bangsa yang besar, Indonesia memiliki banyak suku, agama, ras dan golongan yang berbeda dengan negara-negara lain di dunia. Keberagaman entitas masyarakat ini juga telah menjadi kekuatan bangsa dalam bingkai nilai-nilai dasar negara, yaitu Pancasila.
Semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” tidak hanya bermakna simbolis, tetapi juga merupakan falsafah hidup yang diwariskan oleh para leluhur bangsa Indonesia. Dengan Membela Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam perbedaan, menjunjung tinggi toleransi, memupuk persaudaraan, dan meneguhkan kesetiaan kepada pemimpin negara telah menjadi perilaku hidup berbangsa dan bernegara.
Fase demokrasi di Indonesia saat ini sedang mengalami era keterbukaan informasi. Setiap warga negara dapat memiliki hak yang sama dalam mengakses dan memperoleh informasi yang benar. Namun, kenyataannya tidak semudah membalikkan telapak tangan. Proses demokrasi yang lebih matang masih menghadapi kendala dan hambatan yang dihadapi masyarakat. Ideologi transnasional dan radikalisme yang muncul di tengah masyarakat merupakan musuh bersama dan saat ini sedang membajak proses demokrasi di negara kita.
Selain menyebar melalui terorisme antarkelompok dan radikalisme agama, hal lain yang dilakukan pembajak demokrasi melalui media sosial adalah dengan menyerang berita hoax yang seringkali dapat menyebabkan disinformasi bahkan konflik sosial. Tentunya hal ini sangat bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam falsafah hidup masyarakat Pancasila. Oleh karena itu, kita harus bersatu untuk menghadapi dan melawan hal ini dengan cara berani mengisi ruang publik dengan moralitas, kesopanan, dan budaya luhur bangsa Indonesia, yang berlandaskan Pancasila. Keberanian ini harus ditumbuhkan di keluarga, di masyarakat dan dalam kehidupan berbangsa. Sebagai generasi yang mengakui Pancasila sebagai ideologi negara, kita harus berani menunjukkan persatuan dan solidaritas kita untuk mencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Statement Narasumber:
1. GEDE NARAYANA (KETUA KOMISI INFORMASI PUBLIK PUSAT): Keberlimpahan informasi harus disikapi dengan cara yang bijaksana, dengan merujuk logika positif, etika, dan sopan santun serta budaya bangsa. Pelaku terorisme sama halnya dengan pembuat serta penyebar, karena dapat membahayakan, merugikan negara, pembunuhan karakter, dan sejenisnya. Membahayakan dan merugikan negara serta masyarakat, harus ditindak tegas dengan peraturan/Undang-Undang yang berlaku. Mengajak kepada semua anak bangsa untuk mengisi media sosial dengan informasi yang menyejukkan, edukatif, menambah pengetahuan, hiburan, dan tidak perlu sampai membuat kegaduhan karena bangsa kita punya budaya yang santun dan bijak.
2. ROMO BENNY SUSETYO (STAF KHUSUS DEWAN PENGARAH BPIP): di era digital saat ini, komunikasi bukan hanya untuk menambah ilmu tetapi juga sebagai media bisnis bahkan promosi untuk memperkenalkan sesuatu dengan nilai lebih dari segi ekonomi. Media sosial seharusnya dapat menjadi alat memajukan nilai-nilai kemanusiaan dan pemersatu bangsa, namun yang terjadi saat ini justru sebaliknya, banyak konten-konten medi sosial yang dampak buruk yang dapat mereduksi nilai kemanusiaan seperti: sentimen SARA, permusuhan di media sosial, sebaran hoaks/ujaran kebencian yang arahnya dapat menghancurkan keutuhan NKRI. Untuk itu, perlu mengisi ruang publik dengan konten-konten yang membangun harapan, motivasi, cara berpikir positif, menghibur dan bersifat inspiratif.
3. BRIGJEN R. AHMAD NURWAHID (DEPUTI PENCEGAHAN TERORISME BNPT): Terorisme merupakan perbuatan dengan kekerasan/ ancaman yang menimbulkan gangguan keamanan, korban jiwa, kerusakan/penghancuran fasilitas publik. Motifnya antara lain: ideologi, politik dan keamanan. Sementara Radikalisme (ekstremisme) merupakan paham/ideologi atas manipulasi distorsi suatu agama yang menyimpang dan dapat menjiwai seluruh rangkaian terorisme. Radikalisme dan terorisme sangat berbahaya (extraordinary crime) karena bisa menyasar siapa saja dan terjadi dimana saja bahkan pemeluk agama-agama lain yang justru bertentangan dengan ajaran agama itu sendiri. Maraknya radikalisme/terorisme mengakibatkan konflik suatu bangsa seperti di Suriah/Afganistan/Libya, dsb. Sementara negara kita adalah negara yang paling majemuk/beragam suku, agama, dan sumber daya alam yang melimpah perlu waspada karena menjadi sasaran penghancuran dari bangsa lain. Untuk itu, BNPT mengajak segenap elemen bangsa dan civitas akademik untuk melakukan pencegahan aksi teror atau penyebarluasan radikalisme sejak dini.
4. ASRORUN NIAM SHOLEH (DEPUTI KEPEMUDAAN KEMENPORA RI): Keterbukaan informasi yang ini menyebabkan borderless itu artinya siapapun bisa mengakses apapun tanpa batas. Bahkan, siapapun dapat menulis apapun dengan tujuan apapun. Sehingga, jika tidak dikelola dengan literasi yang sangat baik maka rawan terjadinya gesekan, malpraktek penggunaan sumber daya digital, terombang-ambing ideologi bangsa sehingga timbul kerentanaan sosial. 5 karakteristik generasi milenial, antara lain: melek teknologi, bergantung pada mesin pencari, tertarik pada multimedia, learning by doing, dan simple/instan. Pandemi saat ini menyebabkan akselerasi teknologi informasi dan digitalisasi. Untuk mengatasi hal ini ketahanan bangsa harus kita bangun, dengan dimulai dari ketahanan diri dan ketahanan di keluarga. Dengan membangun ketahanan bangsa, maka fondasi kebangsaan kita menjadi kuat sehingga tidak mudah terombang-ambing. Organisasi-organisasi sosial seperti Prajaniti memegang peranan penting dalam membangun ketahanan bangsa ini.
(AA Indah Pitasari / Jakarta)
[telah dibaca 33 kali]