“Prajaniti”, nama ini mungkin asing bagi umat Hindu saat ini. Wajar saja, karena lebih dari satu dasa warsa organisasi ini tidak pernah menunjukkan eksistensinya. Malahan tidak tertutup kemungkinan banyak alumni Prajaniti yang tidak tahu, apakah organisasi ini masih hidup atau tidak? Eksistensi sebuah organisasi memang ditentukan oleh fungsinya dalam masyarakat. Ketika ia berrungsi maka ia ada, begitu pula sebaliknya. Maka dari itu, tidaklah heran jika ada pihak-pihak yang mempertanyakan keberadaan Prajaniti saat ini. Mengingat fungsinya dalam pergerakan umat Hindu di Indonesia semakin melemah dan struktur organisasinya juga telah mengalami disfungsi regenerasi.
Mencermati fenomena “disfungsionalitas” Prajaniti belakangan ini, tampaknya diperlukan penyegaran pikiran (refreshing of mind). Ini merupakan langkah awal untuk mengingat kembali maksud dan tujuan dibentuknya Prajaniti dalam grand design perjuangan Hindu Indonesia. Dari sini kemudian, dapat disusun langkah-Iangkah strategis untuk mengembalikan eksistensi Prajaniti dalam pergerakan Hindu Indonesia. Tentu dengan semangat yang lebih segar dan model yang sesuai dengan situasi dan kondisi kekinian. Oleh karena itu, napak tilas sejarah Prajaniti dijadikan upaya untuk melukis peta jalan (road map) Prajaniti pada masa depan. Artinya, perjalanan Prajaniti yang sempat terhenti harus dilanjutkan kembali dengan arah dan tujuan yang lebih pasti.
Era Kebangkitan Ormas Hindu
Napak tilas Prajaniti dapat diawali dari era kebangkitan organisasi (ormas) Hindu pada seputaran tahun 1950-an. Era ini ditandai dengan perjuangan umat Hindu Indonesia – khususnya Bali – agar agama Hindu mendapatkan pengakuan negara dan hak yang setara dengan agama-agama formal yang telah diakui sebelumnya. Pada tanggal 10 Oktober 1952, Menteri Agama, Sekjen Menteri Agama, rtai Kepala Jawatan Pendidtkan Agama Islam memberikan ceramah di Balai Masyarakat Denpasar dan menyatakan bahwa “… tidak dapat mengakui dengan resmi Agama Hindu Bali karena tidak ada peraturan untuk itu berbeda dengan Agama Islam dan Agama Kristen karena telah ada peraturannya…“. Atas penolakan ini, kemudian pada pertengahan tahun 1953, Pemerintah Daerah Bali membentuk Jawatan Agama Otonom Daerah Bali dengan tujuan untuk mengatur pelaksanaan agama umat Hindu Bali karena belum diatur dari pusat. Pimpinan lembaga tersebut dipercayakan kepada Ida Padanda Oka Telaga dan I Putu Serangan. Di tiap-tiap kabupaten dibentuk JCantor Agama Otonom yang diketuai seorang padanda.
Penolakan dari pemerintah pusat tersebut tidak lantas menjadikan perjuangan umat Hindu surut. Sebaliknya, hal ini justru mendorong munculnya pergerakan sejumlah elemen umat Hindu dengan model gerakan yang lebih terarah dan terorganisasi. Pada seputaran tahun 1956, sejumlah ormas Hindu dibentuk, antara lain Gerakan Siswa Hindu Bali (GSHB), Gerakan Taruna Hindu Bali (GTHB), Wanita Hindu Bali (WHB), Ikatan Sarjana Hindu Bali (ISHB), Gerakan Mahasiswa Hindu Bali (GMHB), Genta Swastika Hindu Bali (GSHB), dan Angkatan Muda Hindu Bali (AMHB). Para pendiri dan pengurus ormas-ormas tersebut bergerak bersama-sama untuk mendukung diakui dan diterimanya agama Hindu Bali, sebagai sal ah satu agama resmi di Indonesia. Perjuangan ini tampaknya mulai menuai hasil dengan terbitnya Surat Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia, tanggal 5 September 1958 yang mengakui keberadaan Agama Hindu Bali.
Dengan diakui dan diterimanya agama Hindu Bali dalam struktur Kementerian Agama RI berarti sal ah satu tujuan perjuangan Hindu telah dapat diraih. Dalam hal ini, ormas-ormas Hindu telah mengambil peran penting meskipun masih bersifat parsial. Kemudian pada tahun 1959, muncul gagasan untuk mewadahi ormas-ormas tersebut dalam satu wadah perjuangan Hindu yang diberi nama Badan Perjuangan Umat Hindu Bali (BPUHB). Untuk menegaskan identitas sebagai organisasi Hindu, maka BPUHB yang kemudian menjadi BPUHD diberi nama “Prajaniti Hindu Indonesia”. Kata “praja” berarti negara, sedangkan “niti” berarti pemerintahan atau politik. Ini mengandung maksud bahwa Prajaniti Hindu Indonesia memang sengaja dibentuk sebagai organisasi perjuangan Hindu dalam bidang politik. Dengan dasar pemikiran bahwa hams ada organisasi yang memperjuangkan secant agama Hindu di Indonesia.
Seiring dengan itu, juga sejumlah ormas dan tokoh Hindu Bali menggagas lahirnya organisasi keumatan Hindu. Pada tanggal 21-23 Februari 1959 diadakan Pasamuhan Agung Hindu Bali yang bertempat di Gedung Fakultas Sastra Denpasar (pada saat itu, Fakultas Sastra masih menjadi sal ah satu fakultas bagian dari Universitas Airlangga Surabaya) yang dihadiri oleh pejabat dan staf Pemerintah Daerah Tingkat I Bali, pimpinan berbagai organisasi agama di Bali, yayasan-yayasan Hindu, Perhimpunan Buddhis Indonesia, dan Partai Nasional Hindu Bali yang melahirkan “Piagam Parisada”. Hindu Bali Sabha atau Pasamuhan Agung Hindu Bali tersebut kemudian dikenal sebagai Sidang Pembentukan Parisada Dharma Hindu Bali (selanjutnya disebut Parisada). Dengan dibentuknya Parisada sebagai majelis tertinggi umat Hindu, secara otomatis seluruh ormas-ormas Hindu berada di bawah pembinaan Parisada.
Seturut dengan namanya, Parisada merupakan majelis kependetaan sehingga pemegang keputusan tertinggi berada di tangan pendeta. Adapun pandita/ sulinggih yang duduk dalam majelis Parisada adalah pandita yang nyastra karena tugas utama dari majelis ini adalah mengeluarkan bhisama pada sejumlah aspek-aspek agama Hindu Meskipun Parisada merupakan lembaga bhisama, tetapi para pandita tidak memiliki keharusan untuk tunduk terhadap bhisama tersebut karena dalam Siwasasana, seorang pandita hanya tunduk kepada sastra dan nabe. Oleh karena itu, bhisama Parisada lebih diperuntukkan bagi umat Hindu kebanyakan sebagai pedoman dalam melaksanakan dharma agama dan dharma negara. Salah satu bentuk kerja Parisada yang cukup dirasakan umat Hindu adalah terbitnya buku Upadesa dan Himpunan Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-aspek Agama Hindu.
Dalam melaksanakan tugasnya, para pandita atau Paruman Sulinggih (Sabha Pandita, sekarang) dibantu oleh para walaka yang duduk dalam Paruman Walaka (Sabha Walaka). Walaka yang dimaksud adalah orang-orang yang memahami ajaran agama Hindu, tetapi bukan sulinggih. Tugas Paruman Walaka adalah memberikan kajian dan masukan tentang berbagai aspek ajaran agama Hindu yang kemudian dihaturkan kepada Paruman Sulinggih untuk dipertimbangkan. Sementara itu, keputusan tertinggi tetap berada ada Paruman Sulinggih untuk menerima masukan tersebut dan menjadikannya sebagai bhisama, atau menolaknya. Artinya, pemegang keputusan tertinggi tetap berada di tangan Paruman Sulinggih.
Di samping Paruman Walaka, juga dibentuk pengurus harian Parisada yang bertugas untuk mengurus masalah-masalah administratif. Tugas utama pengurus Parisada adalah mengadministrasikan kegiatan-kegiatan Parisada, termasuk juga menyebar-luaskan hasil-hasil keputusan Paruman Sulinggih kepada umat Hindu. Secara faktual, anggota Paruman Walaka dan Pengurus Parisada kebanyakan juga terdiri atas tokoh-tokoh Hindu dan pengurus ormas-ormas Hindu, termasuk di dalamnya pengurus Prajaniti Hindu Indonesia. Adanya kesamaan aktor yang duduk di kepengurusan Parisada dan Paruman Walaka tersebut menjadikan ikatan antara Parisada dan ormas-ormas Hindu menjadi semakin erat. Disadari ataupun tidak, regenerasi organisasi Hindu sesungguhnya telah berlangsung di sini.
Secara skematis dapat dipahami bahwa ormas-ormas Hindu merupakan wadah untuk mengimplementasikan idealisme ke-Hindu-an, sekaligus pematangan dan pendewasaan berorganisasi. Bagi alumni-alumni ormas Hindu yang hendak terjun ke dunia politik, Prajaniti menjadi wadah organisasinya. Dengan kematangan dan kedewasaan berorganisasi di Prajaniti, maka alumni Prajaniti diharapkan dapat menjadi pengurus Parisada. Regenarasi semacam inilah yang sesungguhnya dikehendaki dengan adanya sistem organisasi berjenjang sehingga pengurus Parisada benar-benar diisi oleh orang-orang yang memiliki pandangan dan pengalaman yang luas dalam perjuangan keumatan Hindu.
Gerakan Politik Hindu
Perkembangan agama Hindu di Indonesia tampaknya mengalami masa-masa suram pasca-terjadinya G/30/S/PKI. Sentimen anti-non Muslim mulai dilancarkan umat Islam dengan prasangka bahwa para pengikut PNI dan PKI banyak yang memilih masuk agama Hindu dan Buddha. Hal ini dibarengi dengan gerakan pemerintah Orde Baru dalam mewujudkan sistem politik single majority sehingga kekuatan-kekuatan di luar partai penguasa dianggap sebagai ancaman. Di Jawa khususnya, sentimen anti-non Muslim ini berakifJat pada ketidak-nyamanan umat Hindu dalam melaksanakan ibadah. Berbagai teror dihadapi umat Hindu, baik dalam hal beribadah maupun tekanan administratif dan ekonomi. Hal ini tampaknya mendorong Parisada untuk melakukan manuver politik dengan tujuan mengamankan umat Hindu di Jawa khususnya, dan di seluruh Indonesia pada umumnya.
Pada tahun 1968, sejumlah pengurus Parisada diantarkan oleh Mayjen (TNI) Ram Agung Ngurah Agung Bonjoran Bayupati, menghadap Ketua Umum Sekber Golkar Maejen TNI Sukawati untuk meminta perhndungan bagi umat Hindu di seluruh Indonesia. Implikasi dari permohonan tersebut bahwa Parisada hams didaftarkan sebagai anggota Sekber Golkar, sebagaimana tertuang dalam Surat Nomor: Kpas-13/SBK/VII/1968, tanggal 23 Juli 1%8. Masuknya Parisada ke dalam Sekber Golkar ternyata berimplikasi positif karena setelah itu muncul instruksi dari Pang lima ABRI kepada seluruh Pangdam, Danrem, dan Dandim untuk melindungi umat Hindu Indonesia. Implikasi politis lainnya bahwa Parisada diberikan jatah untuk menempatkan wakilnya sebagai utusan golongan di DPRD dan DPR-RI (waktu itu masih disebut DPR-GR). Dari sini dapat di pah ami bahwa masuknya Parisada ke dalam politik praktis sesungguhnya bukan karena alasan kekuasaan, tetapi lebih sebagai strategi protektif yang mem an g sangat dibutuhkan pada waktu itu.
Berkaitan dengan “jatah kursi dewan” tersebut, tampaknya mulai teijadi triksi pendapat dalam tubuh Parisada dan Prajaniti. Perlu diketahui bahwa pada saat itu, Prajaniti Hindu Indonesia bam berhasil dibentuk di 6 (enam) provinsi, yaitu Bali, Nusa Tenggara Barat, Lampung, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan DKJ Jakarta. Pada keenam provinsi ini, pengurus Prajaniti diprioritaskan oleh Parisada untuk menjadi utusan golongan di DPRD, apalagi pengurus Prajaniti juga sebagian besar menjadi pengurus Parisada. Akan tetapi, pada provinsi Iain yang belum terbentuk Prajaniti, justru Parisada-lah yang langsung memutuskan utusannya. Hal ini menimbulkan tuduhan miring dari sekelompok umat Hindu – bahkan isu ini masih berkembang sampai sekarang – bahwa Parisada hanya menjadi alat sebagian pengurusnya untuk memperoleh kedudukan politik.
Apabila dicermati lebih dalam, secara yuridis masuknya Parisada ke dalam keanggotaan Sekber Golkar sesungguhnya hanya berlangsung sampai tahun 1975. Mengingat dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya khusunya, keanggotaan Parisada di Sekber Golkar otomatis gugur. Mengingat dalam pasal 1 ayat (7) dijelaskan bahwa anggota Partai Politik dan Golongan Karya hams aktif mengikuti kegiatan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Partai Politik dan Golongan Karya. Artinya, organisasi yang menjadi anggota Sekber Golkar haruslah organisasi yang secara aktif menjadi garda kekuatan politik Golongan Karya, melalui TRI Karya yaitu: Kosgoro, Soksi, MKGR dengan 7 Kinonya, Parajaniti masuk kino GAKARJ. Selanjutnya, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Perubahan Atas UU Nomor 3 Tahun 1975 disebutkan bahwa keanggotaan Partai Politik dan Golongan Karya adalah perorangan dengan stelsel aktif. Ini bermakna bahwa sebagai organisasi, Parisada sudah tidak lagi menjadi anggota Sekber Golkar. Kalaupun ada pengurus Parisada yang menjadi politikus Golongan Karya sifatnya adalah pribadi, bukan Parisada. Artinya, tuduhan yang dialamatkan kepada pengurus Parisada sebagai undebow Golkar sesungguhnya tidak memiliki argumentasi hukum yang memadai khususnya setelah diberlakukannya UU No. 3 Tahun 1975 dan perubahannya dalam UU No. 8 Tahun 1985.
Berdasarkan asumsi-asumsi tersebut di atas, dapat dipahami bahwa antara Parisada dan Prajaniti sesungguhnya memiliki ranah tugas dan rungsi masmg-masmg yang cukup jelas. Keduanya dapat berjalan beriringan dan saling mendukung berdasarkan landasan sastra “”wiku tan pa natha ya Hang, tan pawiku jug/a nata pwa wisirna” (‘Wiku (baca: agama) tanpa raja (baca: politik) akan tenggelam, sebaliknya tanpa agama politik juga akan hancur’). Dengan berpijak pada konsep Rajarshi, sesungguhnya Prajaniti memiliki potensi besar untuk melakukan perjuangan politik demi kemajuan umat Hindu di Indonesia.
Hal ini dapat digambarkan dalam tokoh pewayangan Mahabarata antara Sri Krisna sebagai Parisada, Arjuna dan Panca Pandawa sebagai Prajaniti dan ormas-ormas Hindunya
Rekomendasi
Berkaca pada catatan sejarah di atas, dapat direkomendasikan beberapa hal rkait dengan keberadaan Prajaniti Hindu Indonesia, sebagai benkut
- Prajaniti Hindu Indonesia perlu dibangkitkan dan digairahkan kembali di seluruh Indonesia. Pengurus Prajaniti dari tingkat pusat sampai daerah harus mampu membangun jejaring politik dengan pemerintah.
- Metode rekrutmen dan regenerasi Prajaniti harus dijanng dari kepengurusan ormas-ormas kepemudaan Hindu yang benar-benar memiliki niat, kemauan, tanggung jawab, dan kemampuan untuk berpolitik secara praktis.
- Prajaniti perlu mengadakan pelatihan politik secara reguler kepada politikus dan calon politikus yang beragama Hindu dengan penekanan pada militansi keumatan dan strategi politik yang raenguntimgkan bagi pifewibangan umat Hindu dengan berpedoman pada kitab kitab Prajaniti Witfya Sasaaa dan Aneka Nil Hindu serta kitab-kitab Hindu lairmya.
Ditulis oleh : Prof. Dr. Ida Bagus Gunadha, M.Si
[telah dibaca 1313 kali]